Bajradaya Sentranusa PLTA Asahan 1 Ajang Pembuktian

Editor: metrokampung.com
Bedah rumah di daerah Uluan Tobasa
TOBASA -METROKAMPUNG.COM
Pada era 1996an, pihak asing di sektor bisnis pembangkit listrik  swasta atau IPP (Independent Power Producer) mulai dari investor, perbankan, consultant, operator hingga hal teknik lainnya boleh dibilang mendominasi.
Satu sisi, kondisi ini membawa manfaat bagi seluruh masyarakat karena daya listrik bertambah, namun disisi lain kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dipertanyakan. Tentu, hal ini menjadi tantangan tersediri bagi putra-putri bangsa untuk membuktikan keahliannya.

PT. Bajra Daya Sentra Nusa (BDSN) yang pertama kali menunjukkan keberanian dalam menjawab tantangan tersebut. Bajradaya merupakan konsor­sium peruhahaan nasional dan PT Bajragraha Sentranusa yang merupakan Yayasan Pensiun Karyawan PLN (Persero). Berkat idealisme dan jiwa kebangsaan tinggi yang dimiliki para engineer pen­siunan untuk tetap berkiprah, kemudian bermetamorposa menjadi IPP lokal pertama di sektor pembangkitan listrik tenaga air.

Proyek pertama yang digarap adalah PLTA Asahan 1. Pembangkit ini memanfaatkan aliran Sungai Asahan di Sumatera Utara, dimana potensi listriknya terbilang cukup besar, mulai dari Danau Toba hingga ke downstream-nya laut pantai barat Sumatera, yakni sekitar 1.000 Megawatt. PLTA Asahan 1 sendiri merupakan pilot project pem­bangkit listrik tenaga air oleh swasta yang menjadi pertaruhan eksistensi dan kapabilitas para engineer Tanah Air dalam mengembangkan potensi tenaga air untuk pembangkit listrik.

Pada tahun 1983 telah beroperasi PLTA Asahan 2 (603 MW) yang juga me­manfaatkan aliran Sungai Asahan tersebut, mencakup PLTA Siguragura (286 MW) dan Tangga (317MW). Pembangkit ini hanya digunakan untuk menyuplai kebutuhan listrik PT. Inalum untuk pabrik peleburan aluminium.
Sementara diantara Danau Toba hingga PLTA Siguragura, masih dapat dibangun satu pembangkit lagi. Nah, di situlah kemudian dibangun PLTA Asahan 1 yang diproyeksikan mampu menyuplai sebagian kebutuhan listrik masyarakat di wilayah Sumatera bagian utara.

PLTA Asahan 1 sebenarnya telah didesain pada 1987, namun karena terdapat kendala teknis dan non teknis, maka pembangunannya tertunda.
Selanjutnya, perusahaan konsorsium yang terdiri dari PT Bajragraha Sentra­nusa dan PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) dan perusahaan swasta nasional diberi kesempatan untuk melanjutkan pembangunan. Kemudian pada tahun 1996, konsorsium tersebut mendapatkan izin prinsip dari Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Listrik Kementerian ESDM. Di tahun yang sama, perusahaan mengajukan Power Purchase Aggreemant (PPA) kepada PLN yang ditandatangani pada 23 Desember 1996.

 Menurut Wakil Pimpinan BDSN Asahan I Bambang Suharsono serta manager humas Ir Zefrin Harahap melalui staf humas Ir Maruli Simanjuntak mengatakan baru baru ini, nasib serupa juga dirasakan oleh sekitar 27 proyek pembangkit listrik yang digarap perusahaan swasta lainnya.
Bahkan, status mereka ada yang ditunda hingga batas waktu tidak ditentukan. Beruntung, PLTA Asahan 1 hanya dikategorikan dalam status kaji ulang. Ini artinya kemungkinan pembangunan proyek untuk bisa dilanjutkan lebih besar.

“Hampir seluruh proyek pem­bangunan pembangkit listrik, pada saat itu tidak ada yang mulus. Kalaupun statusnya dilanjutkan, pemenang tender kesulitan untuk mengatur cash flow karena kenaikan harga bahan material melonjak tajam akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika saat itu sangat drastis, dari sebelumnya hanya sekitar Rp 2.000 menjadi Rp 18.000 per US$,” ungkapnya.
Akibatnya, sebagian besar IPP menunda pembangunan pembangkit listrik termasuk PLTA Asahan 1 hingga mereka kembali mendapatkan izin untuk melanjutkan pembangunan. Dan PT PLN kemudian melakukan rasio­nalisasi proyek-proyek pembangkit listrik yang digarap oleh pihak swasta asing maupun dalam negeri.

Kendati demikian, pada 1999 BUMN Kelistrikan itu mengundang seluruh perusahaan yang terlibat terma­suk Bajradaya untuk mendis­kusikan kembali (renegosiasi) kelanjutan pembangunan proyek pem­bangkit  listrik yang tertunda.
Lebih kurang lima tahun proses renegoisasi berjalan atara PT PLN dengan Bajradaya dan pada 8 Januari 2004 baru terjadi kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan amandemen PPA antara Bajradaya dengan PLN. Sebelumnya, pemerintah melalui Keppres No. 154 Tahun 2002 mencabut Keppres No 39 Tahun 1997 yang menyatakan pembangunan PLTA Asahan 1 yang awalnya dikaji ulang menjadi dilanjutkan kembali pembangunannya. Keputusan ini menjadi payung hukum yang jelas bahwa pembangunan PLTA Asahan 1 dapat dilanjutkan kembali. 

Kemudian pada Desember 2006, perusahaan ini mendapatkan pendanaan baru dari Negara China dengan strategic partner-nya adalah China Huwadian Corporation.
“Perusahaan tersebut, semacam power generation-nya Indonesia, seperti PJB atau Indonesia Power. Melalui stra­tegic partner itulah kami bisa melanjutkan kembali pembangunan di akhir 2006. Perjalanan yang cukup panjang karena hampir 9 tahun tertunda, yaitu dari 1998 hingga 2007. Selanjutnya, hampir 3,5 tahun pelaksanaan pembangunan dilakukan secara intensif dan pada April 2010 seluruh pekerjaan fisik PLTA Asahan 1 dapat diselesaikan dengan baik,” cerita Ir Maruli.

Dalam jangka panjang, kehadiran PLTA Asahan 1 diharapkan bisa menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di wilayah Sumatera Utara, Aceh dan Riau (SUAR). Sementara dalam jangka pendek, 180 megawatt yang dihasilkan PLTA Asahan 1 sudah dapat diandalkan dalam mengatasi krisis energi listrik di sejumlah wilayah tersebut bersama-sama dengan pembangkit listrik lainnya di wilayah ini.
Corporate Social Responsibility (CSR)

Berbagai program kemasyarakatan seperti CSR, pihaknya telah membuat program seperti, Rehab gedung pendidikan, Bedah Rumah tak layak huni, juga sejumlah program lainnya.
Sebagai tanggung jawab  perusahaan dalam bentuk sosial, kami tetap menerima permohonan masyarakat dalam berbagai kebutuhan yang telah terprogram seperti pembersihan alur sungai, dan lainnya.
Kegiatan CSR akan menjamin keberlanjutan bisnis yang dilakukan, hal ini disebabkan karena menurunnya gangguan sosial yang sering terjadi akibat pencemaran lingkungan, bahkan dapat menumbuhkembangkan dukungan atau pembelaan masyarakat setempat jelas Maruli mengakhiri.(Edi)


Share:
Komentar


Berita Terkini