Program Konservasi Daerah Tangkapan Air Danau Toba Terduga Manipulatif, kini Menjadi Ulasan Serius Pegiat Lingkungan

Editor: metrokampung.com
James Travo, ST.

Pasifik, metrokampung.com
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 menetapkan Hari Konservasi Alam Nasional setiap tanggal 10 Agustus. Peringatan ini merupakan salah satu upaya dalam mengingatkan masyarakat bahwa konservasi adalah bagian penting dalam pembangunan. Sehingga konservasi alam senantiasa berlanjut dan dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan di masa sekarang dan mendatang.  

Konservasi dan Penghijauan pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba juga tidak kalah pentingnya, kini tengah terikat dalam Perjanjian Kerjasama Tripartit antara PT. Indonesia Asahan Aluminium (Persero), Perum Jasa Tirta I dan Pemerintah Kabupaten Toba. 

Seperti diketahui, tujuan dari Perjanjian Tripartit tertanggal 31 Agustus 2021 itu adalah keberlangsungan kegiatan konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba berupa kegiatan penanaman pohon yang diharapkan dapat mengembalikan fungsi DTA sebagai daerah penyangga ketersediaan dan kestabilan level air Danau Toba dengan elevansi maximun 905 meter diatas permukaan laut (mdpl) dan minimum 902 mdpl. 

Lemahnya pengawasan internal pada program konservasi itu hingga terlihat Kejanggalan yang di pertontonkan, kini tengah terexpos. Para Pegiat Lingkungan merasakan perbuatan manipulatif dan sangat rapi ditutup - tutupi para pihak terkait dalam kerjasama Tripartit termasuk oknum Pejabat Pemerintah Kabupaten Toba, dan oknum  staff Manajemen kedua Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Jasa Tirta I dan PT. Inalum (Persero).

Akibat ketidakmampuan Dua Perusahaan BUMN yg tidak bersedia mentransparansikan data-data Proyek Konservasi dan Penghijauan maka  semakin yakin terjadi modus Tipu-tipu pelestarian lingkungan yang sumber  dananya berasal dari iuran Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air ( BJPSDA) yang dipungut Perum Jasa Tirta I dari beberapa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (Hidro Electric Power Plant) pada Wilayah Sungai (W-S)Toba Asahan "ungkap James Trafo Sitorus, ST di Pasific Pariwisata Porsea dikutip Minggu (11/9/2022).

Buku Merah PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) atau Master Agreement Annexure D Pasal 1 Tahun 1975 menetapkan bahwa tenaga listrik yang dibangkitkan oleh PT Inalum yang melebihi kebutuhan operasinya disediakan untuk elektrifikasi Pemerintah sekira 48 Mega Watt.

Sebesar 2 Mega Watt (Up to) dari kelebihan tenaga listrik tersebut untuk keperluan elektrifikasi Masyarakat Porsea dan Balige (Excess Power 50 MW = 48 MW + 2 MW).

Risalah rapat antara Deputy General Manager PT. Indonesia Asahan Aluminium beserta General Manager PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) wilayah sumatera Utara tertanggal 23 Juli 2010, bahwa PT Inalum menyampaikan perhitungan harga jual energi listrik 2 Mega Watt ke PLN Porsea/Balige untuk periode April 2010 sampai Maret 2011 sebesar Rp 222 per KWh. Nominal Rp 222 per KWh sama artinya 3 Sen US $ (Dollar Amerika) modal energi listrik yang diproduksi Hidro Electric Power Plant (HEPP) Siguragura dan Tangga dengan Kurs Dollar saat itu. 

Dari risalah tersebut maka Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (USU) Tahun 2011 membuat Laporan Akhir Kajian Teknik Atas Penyaluran Listrik 2 Mega Watt ke Porsea dan Balige sesuai Master Agreement Annexure D, secara teknis diatur pada tahun 1984, tiga tahun setelah Power Plant beroperasi.

Dapat dijelaskan sebagai berikut :
April 2010 - Januari 2011 Energy Supply ke PLN Porsea/Balige 6.760.492 KWh/tahun dikalikan price Rp 222/KWh = Rp 1.501.370.110/tahun equvalent dengan Kapasitas Pembangkit Listrik 0,7 Mega Watt, tidak terjadi penyerapan elektrifikasi 1,3 Mega Watt dalam periode itu.

Dalam Nota kesepahaman Nomor. PJ.411/PST/1984 tanggal 22 Desember tertulis jumlah energi listrik yang dapat disalurkan kepada Masyarakat Porsea dan Balige per hari (2 MW x  24 Jam = 48 MWh, satu bulan = 1.490 MWh atau 1.490.000 KWh, maka saat tahun 2011 Kapasitas Listrik 2 Mega Watt jika dirupiahkan  adalah 1.490 MWh x 12 bulan = 17.880.000 KWh x Rp 222/KWh = Rp 3.969.360.000/tahun.

Ketika Kapasitas Listrik 2 MW yang disupply PT Inalum melalui PT PLN tidak  mampu terserap dalam elektrifikasi Masyarakat Porsea dan Balige, maka bagaimanakah sesungguhnya Pemberdayaan dan Pengembangan yang dilakukan oleh PT Inalum saat era Konsorsium Nippon Asahan Aluminium ?

James Sitorus, ST menambahkan, PT. Inalum (Persero) tak perlu kaku, saatnya melakukan edukasi kepada masyarakat. Suatu proses pembelajaran yang dilakukan baik secara formal maupun non formal yang bertujuan untuk mendidik, memberikan ilmu pengetahuan, serta mengembangkan potensi diri yang ada dalam diri setiap manusia. Kemudian mewujudkan proses pembelajaran tersebut dengan lebih baik.
Selain itu, upaya mengubah sikap dan perilaku seseorang ataupun kelompok dalam bentuk pendewasaan melalui proses latihan maupun melalui proses pembelajaran.

James Sitorus, ST berharap, Jangan ada lagi ketidak transparanan dan ketidak konsistenan yang pernah terjadi pada Manajemen PT Inalum seperti masalah listrik 2 Mega Watt (Tahun 1981 - 2011), berharap kedepan program-program  PT Inalum (Persero) setelah BUMN seperti Perjanjian Tripartit  Tahun 2021 tentang Konservasi Danau Toba serius melibatkan stakeholder. 

"Sepantasnyalah para Pegiat Lingkungan di sekitar PLTA menjadi ujung tombak dan berpartisipasi untuk menselaraskan masyarakat Kawasan Danau Toba dengan Program-program pengembangan/perberdayaan yang digaungkan PT Inalum, namun harus secara fair, agar para Pegiat Lingkungan mendapatkan dukungan dan akses yang mantap dari perusahaan yang bergerak dalam bidang Pembangkit Listrik dan Pabrik Peleburan Aluminium "cetus James  Trafo Sitorus, ST".

Pengamat hukum pidana Manuala Tampubolon, SH. M,Hum mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, hal inilah acuan dan titik tolak berkehidupan dan bernegara.

"Bergulirnya kekuasaan dari Presiden Soeharta sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Megawati Seokarno Putri nyata tidak mengahasilkan suatu eliminasi dari perbuatan korupsi. Bahkan semakin deras saja pendapat bahwa sekarang ini dengan bergulirtnya kekuasaan semakin bergulir pula korupsi kekuasaan (power coruption). 

Hal ini tambah semakin buruknya sistem dalam menanggulagi korupsi. Memang secara nyata kita telah menghasilkan beberapa produk hukum guna menanggulangi permasalahan dimaksud seperti, UU No. 28 Tahun 1999. tentang Pemberantasan KKN, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun perubahan terakhir melalui UU No. 21 Tahun 2000. 

Tetapi ternyata semuanya belum memberikan hasil yang memuaskan bagi masyarakat. Apalagi masyarakat telah ragu dengan semangat penegakan hukum (pemberantasan korupsi) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan tersebut, khususnya instansi kepolisian dan kejaksaan.

Secara tidak langsung cikal bakal adanya Komisi Pemberantasan Korupsi ini berasal dari buah pikiran Prof Andi Hamzah juga Romli Atamasasmita, kemudian ide ini di terima oleh Baharudin Lopa sewaktu belia menghendaki diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi. 

Dengan adanya sitem pembalikan beban pembuktian ini maka setiap gratifikasi (penyuapan) yang nilainya diatas 10 juta rupiah wajib diberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mana diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

Adapun asas yang dianut adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas (Pasal 5). Adapun makna dari Pasal 5 adalah:
1.Kepastian Hukum  adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan dalam menjalankan tugas dan wewenang KPK
2.Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminasi, tentang kinerja, KPK, dalam menjalankan tugas serta fungsinya.
3.Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dipertanggung jawab kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejateraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif.
5.Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbanagan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK. Guna menjunjung tinggi undang-undang dimagsud, tentunya harus dimulai sejak dini,"imbuhnya. (e/mk)
Share:
Komentar


Berita Terkini