Eucalyptus dan Hutan Tropis, Karunia Tuhan Untuk Masyarakat dan Industri Indonesia

Editor: metrokampung.com
Mitra PKR dan staff TPL monitor pohon eukaliptus.

Bagaimana cara "memperkebunkan" kayu Eukaliptus untuk bisa dipanen serat (selulosa)-nya menjadi produk bernilai tinggi sebagai bahan baku tekstil?

Eukaliptus, adalah tanaman dengan nama ilmiah Eucalyptus sp. Eukaliptus memiliki lebih dari 700 jenis atau spesies. Tanaman ini dinyatakan sebagai tanaman asli Australia. Tetapi juga dapat ditemukan di Papua Nugini, Filipina, dan Indonesia. Namun, sejatinya Eukaliptus adalah tanaman hutan, meski banyak jenisnya sudah dibudidayakan menjadi hutan tanaman industri.

Dari tanaman ini biasanya diambil kayunya sebagai bahan baku pulp (bubur kayu bahan baku kertas atau serat rayon). Dan itu-lah yang dilakukan perusahaan industri pulp di Porsea, Kabupaten Toba, yakni PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Kayu Eukaliptus juga dapat dijadikan kayu lapis, kayu pertukangan, bahkan bantalan kereta api, dan dari daunnya dapat disuling minyak atsiri.
Pohon eukaliptus tapak bawah

Secara alami, tumbuhan ini tumbuh di hutan alam pada ketinggian 350 - 3000 m dpl (di atas  permukaan laut), pada kisaran suhu tahunan 24 - 28 derajat selsius, dan dengan curah hujan antara 700 - 2.500 mm per tahun. Tanaman ini boleh juga dijuluki si "Kutilang" (kurus-tinggi-langsing) karena berbatang lurus, tinggi hingga mencapai 30 m dan diameter 2m, serta bebas dari percabangan.  

Di TPL, sebagaimana diuraikan Manager Regional HTI Sektor Aek Nauli, Natanael Tarigan, Maret 2023 lalu, pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) untuk dijadikan sumber bahan baku industri pulp, dimulai dari pemilihan bibit dari pohon unggul di hutan. Bibit itu lalu dibudidayakan puluhan ribu pohon jumlahnya, sebagai induk (Mother Plant) di areal pembibitan di kompleks pabrik di Porsea. Dari tanaman induk inilah tumbuh tangkai-tangkai baru.
PKR eukaliptus tampah atas

Melalui penerapan teknologi pertanaman, tangkai-tangkai baru itu dipotong-potong menjadi panjang sekitar 10 cm. Kemudian bagian pangkalnya dicelupkan ke cairan tertentu untuk merangsang per-akar-an. Lalu ditanam di wadah bernama "tiup" tak seberapa besar, berisi pasir ber-pupuk, sebagai media pembesaran. Hanya dalam rentang waktu seratus hari, per-akar-an bibit-bibit baru di "tiup" itu sudah tumbuh, serta hebatnya sudah pula dapat ditanam di lahan penanaman HTI. Tentu, areal penanaman di areal terbuka itu sudah lebih dulu dipersiapkan. Melalui proses teknologi ini, TPL, mampu menghasilkan jutaan bibit baru per bulan. 

Selanjutnya?
Melalui pemupukan dan pemeliharaan berkesinambungan di lapangan, pada usia satu tahun pohon-pohon baru eukaliptus bisa mencapai tinggi 3 meter. Bila misalnya difoto dari udara, tampilannya aduhai cantik, daun muda kemerah-merahan mirip daun cengkeh. Dan pada usia 5 tahun garis tengah batangnya mencapai antara 15 hingga 20 centimeter, sehingga sudah siap untuk dipanen.
 
Menurut Bedman Ritonga (54), Staf Senior Sosial Capital HTI Sektor Aek Nauli, hampir seluruh proses kerja di HTI melibatkan peran-serta masyarakat sekitar. Mereka ada yang menjadi rekanan (kontraktor penanaman, perawatan tanaman, pemanenan, dan pengangkutan ke pabrik) sehingga terlahir pengusaha-pengusaha lokal, serta ada pula yang menjadi pekerja. Efek domino-nya tampak di sepanjang perlintasan aktivitas perusahaan, salah satunya tumbuhnya warung-warung makan di sepanjang rute jalan. 

Pertanyaannya, mengapa sebegitu cepat pertumbuhan pohon Eukaliptus sehingga dalam rentang waktu singkat hanya 5 tahun sudah dapat panen? Bukankah di negera lain seperti Australia, eukaliptus yang ditanam baru bisa dipanen antara 15 hingga 20 tahun atau bahkan lebih?

Jawabannya, pernah dikemukakan sendiri Ignatius Ari Djoko Purnomo, Komisaris Utama TPL. Katanya, hal itu memang berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di negera yang ditakdirkan berada di garis equator seperti Indonesia, kayu apa pun dapat bertumbuh tanpa henti, sepanjang tahun, karena selalu ada pasokan air (hujan) dan sinar matahari penumbuh biomassa. 

Keadaannya sangat berbeda dengan negera yang ada musim dingin-nya, saat kayu ada jeda-bertumbuh. Di dunia terdapat 12 negara equator lain yang beruntung dengan iklim tropis selain Indonesia, meliputi: Brasil, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Kolombia, Uganda, Ekuador, Somalia, Gabon, Sao Tome And Principe, Maladewa, dan Kiribati.

Keunggulan di negara khatulistiwa itulah yang disadari oleh pengusaha Indonesia, salah satunya pendiri TPL, sebagai "keunggulan komparatif." Keunggulan komparatif atau comparative advantage, ialah keunggulan yang muncul karena menghasilkan suatu barang atau jasa dengan biaya lebih rendah. 

Indonesia yang merupakan negara beriklim tropis dapat menghasilkan bahan baku industri lebih cepat, dua hingga tiga kali lipat dari negara beriklim subtropis. Ketersediaan bahan baku, apalagi dengan cost lebih rendah, adalah salah satu faktor utama penentu untuk memenangkan persaingan global. 

Kata Mas Ipung sapaan akrab Ignatius di jajaran top manajemen perusahaan, TPL secara sadar memanfaatkan secara tepat karunia ilahi berupa hujan dan juga cahaya matahari itu, sebagai faktor keunggulan komparatif. Bahwa keunggulan komparatif Indonesia itu kemudian memicu para pesaing global mencari-cari dalih untuk melancarkan kampanye negatif atau negative campaign berbagai pihak, termasuk NGO. Dan itu memang jamak atau lazim terjadi dalam perang atau persaingan dagang. 

Dengan kapasitas produksi pabrik maksimal 200 ribu ton dissolving pulp per tahun, tetapi realisasinya lebih sering sekitar 150 - 160 ribu ton, maka TPL membutuhkan pasokan 840 ribu ton bahan baku kayu, karena untuk menghasilkan 1 ton dissolving pulp dibutuhkan 5,6 ton kayu.

Dari luasan konsesi 167.912 Hektar, hingga kini areal yang sudah jadi kebun HTI masih sekitar 50 ribu hektar atau 29,7%, masih jauh di bawah angka perencanaan sekitar 53% atau 84 ribu hektar. Sisanya akan tetap dipertahankan menjadi hutan alam.
 
Efektif sejak 30 Juni 2014, kebijakan perusahaan memang hanya akan mengembangkan HTI di konsesi non-NKT (nilai konservasi tinggi) dan non-SKT (stok karbon tinggi). NKT didefinisikan sebagai nilai-nilai biologis, ekologis, sosial dan budaya yang dianggap penting di tingkat nasional, regional dan global. Pendekatan ini bertujuan melindungi wilayah bernilai konservasi di kawasan produksi, untuk melengkapi upaya konservasi di kawasan konservasi atau lindung.

Adapun pendekatan SKT (HCS - high carbon stock) adalah metode pembeda hutan yang berharga untuk perlindungan, dan hutan terdegradasi dengan nilai karbon dan keanekaragaman hayati rendah.

Dengan demikian, TPL memastikan pasokan bahan bakunya tidak akan mendegradasi atau menurunkan fungsi hutan di areal NKT dan SKT, karena hanya kawasan non-NKT dan non-SKT-lah yang dikembangkan menjadi HTI. Setiap hektar eukaliptus siap panen dapat menghasilkan 110 hingga 120 ton ton kayu. Maka, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku 840 ribu ton per tahun, diperlukan panen antara 7.000 hingga 7.636 hektar. Tentu, panen hanya dapat dilakukan pada petak-petak yang kayunya sudah matang (usia 5 tahun atau lebih plus diameter antara 15 - 20 cm).
  
Sudah cukupkah HTI seluas sekitar 50 ribu hektar yang beragam usia memenuhi kebutuhan seluruh bahan baku?
Bedmen Ritonga menginformasikan, tambahan pasokan diperoleh dari PKR (perkebunan kayu rakyat) seluas 11 ribu Hektar, serta juga dari hasil kerjasama dengan perusahaan HTI lain di daerah lain. Begitulah kayu Eukaliptus dibangun, melibatkan kerjasama pembangunannya dengan rakyat setempat, dan bahkan dengan sesama pengusaha sejenis. 

Ringkasnya, karunia ilahi itu diolah sedemikian rupa berdasarkan teknologi ramah lingkungan, untuk menghasilkan sebesar-besar manfaat bagi negeri (perolehan devisa), warga (kemitraan usaha, kerja, kemitraan sosial), lingkungan (terlestarikan secara seimbang), bisnis (menghasilkan keuntungan melalui jaringan perdagangan global), serta pengusaha (beroleh keuntungan agar tetap mampu mengemban seluruh kewajiban kepada karyawan, mitra, dan untuk kesinambungan usaha).(rel)


Share:
Komentar


Berita Terkini