Samosir Rawan Bencana Ekologis, Masyarakat Serahkan Rekomendasi Kebijakan

Editor: metrokampung.com

Samosir,MK
Rentetan bencana lingkungan yang terjadi sejak 2010 telah menghilangkan nyawa sejumlah penduduk, merusak harta benda, dan lahan pertanian masyarakat. 

dihimpun dari berbagai Sumber berikut ini daerah yang mengalami bencana lingkungan yang terjadi di Kabupaten Samosir, Desa Sabulan dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio, (29 April 2010); Desa Bonan Dolok, Kecamatan Sianjur Mulamula (8 Maret 2018); Desa Habeahan Naburahan, Desa Aek Sipitudai, dan Desa Sarimarihit, Kecamatan Sianjur Mulamula (21 Maret 2019); Desa Buntu Mauli I dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio, (3 Mei 2019); dan Desa Holbung, Kecamatan Sitio-Tio (8 Desember 2019), Sianjur Mula-mula (18 Desember 2022), Desa Siboro (3 Mei 2023), Desa Sabulan, Kenegrian Sihotang, Desa Harian Boho (November 2023).

Diskusi menjadi salah satu ruang berbagi pemahaman atas fenomena bencana yang terjadi belakangan ini dari berbagai perspektif seperti pemerintah, pemerhati lingkungan, gereja dan masyarakat.

Senin,(27/5/2024)DPC PPRSSBI Bersama Lembaga Pemerhati Lingkungan KSPPM dan Gereja HKBP Distrik VII Samosir, melaksanakan diskusi publik dengan tajuk “Samosir Darurat Bencana Ekologis” di Gereja HKBP Sihotang I Desa Siparmahan, Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian kabupaten Samosir.

Pada kegiatan tersebut turut hadir dari pihak Pemerintah Kabupaten yang diwakili oleh Hotraja Sitanggang sebagai (Asisten II Bupati Samosir), Edison Pasaribu (Kepala Dinas Lingkungan Hidup), Sarimpol Manihuruk (Kepala BPBD), selain itu turut hadir pemerhati lingkungan seperti KSPPM dan ICEL, pihak gereja yaitu Pdt Rein Justin Gultom, Praeses HKBP Distrik VII Samosir, dan tentu pada kesempatan tersebut juga turut hadir masyarakat Sihotang, perwakilan masyarakat Sitio-tio yang merupakan korban terdampak bencana ekologis di Samosir.

Diskusi tersebut diawali dari pengalaman para korban bencana, seperti Ibu Dewi Saragih yang berasal dari Desa Buntu Mauli, Kecamatan Sitio-tio. Ketika terjadi banjir pada tahun 2019 lalu, ketika beliau dalam kondisi baru melahirkan menjadi momen yang meninggalkan trauma hingga saat ini. Selain mengalami kerugian karena lahan pertanian yang rusak, kejadian tersebut juga memakan korban jiwa. “Lahan pertanian kami yang terdampak sudah diukur pemerintah namun higga kini belum ada semacam ganti rugi,” ucap Ibu Dewi.


Tidak jauh berbeda disampaikan oleh Oppung Intan Silalahi, yang merupakan korban bencana yang baru terjadi pada November 2023 di Desa Sihotang. Tidak hanya harus mengalami kerusakan lahan akibat terbawa arus banjir beliau juga kehilangan rumah juga kehilangan istri yang meninggalkan duka yang dalam pada keluarga Oppung Intan.

“Saya menerima santunan dari pemerintah pusat 15 juta, saya bersyukur akan perhatian tersebut namun dibandingkan kerugian saya itu tidak cukup karena saya sudah kehilangan mata pencaharian, saya harus beli tanah dan membangun rumah, rasanya sangat tak sebanding,” tegas Oppung Intan.

Bencana yang terjadi khususnya di Sihotang, tidak terlepas dari aktifitas deforestasi yang terjadi secara massiv di Hutan Tele yang merupakan hulu Desa tersebut.

Sebagaimana diungkap oleh Sartono Sihotang yang merupakan masyarakat Sihotang yang juga Sekretaris Punguan Pomparan Raja Sigodangulu Sihotang dan Boru (PPRSSB) DPC Khusus Kenegerian Sihotang dan juga korban bencana banjir,beliau juga salah satu tim masyarakat yang melakukan investigasi penyebab banjir bandang.

Bencana yang terjadi khususnya di Sihotang, tidak terlepas dari aktifitas deforestasi yang terjadi secara massiv di Hutan Tele yang merupakan Hulu Desa tersebut.

“Saya melihat debit air yang sangat besar. Air ini bersumber akibat dari penebangan yang besar besaran hutan di Tele, Desa Huta galung oleh Perusahaan TPL. Walaupun ada ijinnya, menurut saya ada aturan yang dilanggar karna dipanen secara terus menerus. Kita melihat bencana ini bukan sebagai bencana alam, namun bencana yang diakibatkan ulah manusia atau bencana ekologis,” tutur Sartono.

Pada kesempatan tersebut Sartono juga menyampaikan ada 3 tuntutan masyarakat Sihotang pada saat Demonstasi Tutup TPL Sektor Tele, 14 Desember 2023. Seperti menutup TPL di Sektor Tele, melakukan perbaikan dan ganti rugi kerusakan lahan pertanian. Namun, tuntutan tersebut dirasa masyarakat belum sepenuhnya di lakukan dan diseriusi. Sartono pun menagih janji Pemerintah untuk melakukan investigasi mengetahui kaitan Perusahaan TPL dengan penyebab banjir. Salah satu tim masyarakat yang melakukan investigasi penyebab banjir.

“Saya melihat debit air yang sangat besar yang belum pernah terjadi seperti itu,diduga kuat Air tersebut bersumber akibat dari penebangan yang besar besaran hutan di Tele, Desa Huta galung oleh Perusahaan TPL. Walaupun ada ijinnya, menurut saya ada aturan yang dilanggar karna dipanen secara terus menerus. Kita melihat bencana ini bukan sebagai bencana alam, namun bencana yang diakibatkan ulah manusia atau bencana ekologis” tutur Sartono.

Berdasarkan dinamika dalam diskusi publik dan pengalaman masyarakat korban bencana selama ini, dilahirkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Samosir.
Adapun poin rekomendasi tersebut diantaranya:

1.Pemerintah Kabupaten Samosir harus dengan serius melibatkan masyarakat, khususnya di lokasi rawan bencana dalam melakukan perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah berikut Kajian Lingkungan Hidup Strategisnya. Ini penting supaya dokumen RPJMD dapat memuat inventarisasi dampak perubahan iklim, perkiraan dampak dan risiko yang dapat ditimbulkan oleh bencana, intensitas dan cakupan wilayah bencana, serta ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat, dan lain sebagainya. Data yang akurat dan komprehensif penting untuk menyusun rencana penanggulangan bencana dan adaptasi-mitigasi perubahan iklim.

2)Pemerintah Kabupaten Samosir harus menganggarkan Dana Siap Pakai di dalam APBD agar penanggulangan bencana tidak terbengkalai dan memakan waktu lama apalagi sampai harus berharap pada pemerintahan yang lebih tinggi. Dana siap pakai haruslah tersedia untuk bantuan sosial yang benar-benar meliputi kebutuhan hidup; pemulihan infrastruktur fisik pendidikan, kesehatan, dan pertanian; serta pemulihan trauma korban material maupun jiwa;

3)Pemerintah Kabupaten Samosir harus menyusun Portal Mitigasi Bencana dan Peta Rawan Bencana berbasis Geospatial Information System (GIS). Portal dan Peta harus memuat informasi kebencanaan seperti gerakan tanah atau longsor, gempa bumi, banjir yang disertai rincian kerawanan daerah tersebut. Ini menjadi penting, guna memudahkan pemerintah dan juga masyarakat untuk meninjau segala aktivitas yang dilaksanakan di Kabupaten Samosir dalam kerangka pencegahan bencana;
4)Pemerintah Kabupaten Samosir memasukkan Portal Mitigasi Bencana dan Peta Rawan Bencana ke dalam sebuah Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Tentang Rencana Aksi Daerah Adaptasi & Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim yang dilengkapi langkah-langkah konkret pencegahan hingga pemulihan pasca bencana. Pada poin pemulihan dan sebagai bagian dari adaptasi dampak perubahan iklim, harus diatur bahwa penyediaan fasilitas darurat untuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian harus langsung tersedia jika sewaktu-waktu terjadi bencana;
5)Sesegera mungkin menyelesaikan segala aktivitas penanggulangan bencana termasuk pemulihan infrastruktur dan ruang hidup masyarakat Sihotang pasca-bencana.

Dokumen rekomendasi kebijakan ini diserahkan langsung oleh Sekretaris DPC PPRSSBI bersama masyarakat korban bencana kepada pemerintah kabupaten yang diwakili oleh Asisten II Bupati Samosir, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Samosir.

Bersama penyerahan dokumen tersebut, masyarakat berharap ada undangan diskusi maupun konsultasi publik oleh pemerintah kabupaten. Supaya pembenahan kebijakan dapat benar-benar dimiliki dan berasal dari masyarakat.(tim)
Share:
Komentar


Berita Terkini