Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap

Editor: metrokampung.com
Kiki Fatmala Sari, M.Psi, Psikolog
Psikolog Pendidikan

Medan, metrokampung.com
Pendidikan inklusif untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) terus berkembang di Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menyebut saat ini sudah ada sekitar 40.000 sekolah Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) yang merupakan penugasan wajib untuk menyediakan minimal satu sekolah inklusi tingkat menengah atas per kabupaten/kota, serta satu sekolah inklusi tingkat dasar dan satu sekolah inklusi tingkat menengah pertama per kecamatan.

Namun, perkembangan secara kuantitas ini tidak beriringan dengan kesiapan sekolah dalam menjalankan program tersebut. Penerapan pendidikan inklusif sejauh ini masih terbatas pada jumlah sekolah yang tersedia untuk menerima peserta didik ABK. Tetapi, kesiapan sekolah dalam penyelenggaraannya, terutama kesiapan guru dan kapabilitasnya untuk mendidik ABK masih belum maksimal. Makanya, kebanyakan sekolah dinilai masih belum siap menerapkan pendidikan inklusif sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan tersebut.


Kiki Fatmala Sari, psikolog pendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant menyebut salah satu permasalahan adalah terbatasnya guru pembimbing khusus (GPK). 

“Dalam pendidikan inklusif ini, ABK didampingi oleh guru pendamping khusus. GPK inilah yang akan membantu anak-anak ini untuk menjalani program pendidikan di sekolahnya. 
Namun, saat ini untuk keberadaan GPK itu sangat terbatas,” ungkap Kiki di sela-sela kegiatan pelatihan untuk para GPK di Sekolah Fitrah Khalilah, Medan, belum lama ini.

Dijelaskannya, dalam pendidikan inklusif, peserta didik ABK ini digabung dengan anak-anak lainnya di sekolah reguler. Ini bertujuan agar anak-anak dengan kelainan baik fisik, emosional, mental, intelektual, maupun sosial, serta anak-anak dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa itu bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak pada umumnya. Namun, dalam menjalani pendidikan di sekolah reguler tersebut, peserta didik ABK ini harus didampingi oleh GPK yang memang ditugaskan secara khusus untuk mendampingi mereka.

Tapi, kenyataannya tak semua peserta didik ABK di sekolah inklusi memiliki GPK. “Akhirnya mereka hanya mengikuti aktivitas yang sama seperti anak reguler, tanpa mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki berdasarkan karakteristik kekhususannya. GPK itu sendiri tugasnya membimbing ABK sesuai dengan programnya. ABK ini kan memiliki karakteristik sendiri, memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri,” lanjut perempuan yang juga menjabat Koordinator Program Inklusi di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) Medan itu.

Berdasarkan data Kemendikbudristek pada Desember 2023, dari sebanyak 40.164 satuan pendidikan di Indonesia yang memiliki peserta didik ABK, hanya 5.956 sekolah, atau sekitar 14,83 persen saja yang memiliki GPK. Sementara di Sumatera Utara sendiri, saat ini sudah ada 1.767 sekolah SPPPI dengan peserta didik ABK, di mana sebanyak 237 sekolah di antaranya ada di Kota Medan, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

Kesiapan GPK dan Dukungan Masyarakat
Bukan hanya kuantitas, peningkatan kualitas GPK juga menjadi permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian. Kiki menyebut GPK harus bisa memahami kurikulum, karena perlu dilakukan penyesuaian pada kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Ini dilakukan karena, dengan keterbatasannya, sebagian besar peserta didik ABK tidak akan bisa mengikuti kurikulum reguler. Sehingga GPK harus mampu merancang program pembelajaran khusus, disebut Individualized Education Program (IEP) atau Program Pendidikan Individual (PPI).

“Sebagian besar sekolah yang memiliki GPK, mereka itu belum memahami tentang adanya program pendidikan individual. Jadi, selama ini beberapa sekolah yang saya perhatikan, GPK hanya mendampingi anak tanpa dia memiliki program khusus untuk anak itu. Padahal, seharusnya GPK memiliki program individual untuk anak, agar anak ini bisa mencapai hal yang belum mampu dilakukannya dan mengoptimalkan kemampuan anak,” kata alumni Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara itu lagi menambahkan.

Hal ini diamini oleh Yenni Merdeka, psikolog anak dan pendiri Sekolah Fitrah Khalilah Medan. Menurutnya, kebanyakan sekolah yang saat ini menjalankan pendidikan inklusif, baik sekolah pemerintah maupun swasta, hingga para GPK, masih belum paham dalam penerapan program ini. 

"Karena ternyata banyak sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif, tapi belum paham tata caranya. Banyak guru yang berprofesi sebagai GPK, tapi mungkin belum paham tekniknya, bagaimana cara merancang program pembelajarannya," ucapnya. 

Tidak hanya itu, penerimaan dari lingkungan sekitar juga sangat penting dalam keberhasilan pendidikan inklusif. Tapi, ternyata masih ada banyak penolakan terhadap ABK, karena stigma negatif yang selama ini tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Yenni mencontohkan apa yang terjadi di sekolah miliknya, yang memang menerima peserta didik ABK. 

“Misalnya ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke kami, dan dia tahu bahwa ada anak lain yang berkebutuhan khusus, dia takut kekhususan ini akan menular ke anaknya yang normal,” ujarnya.

Makanya, Yenni menilai bahwa pendidikan inklusif dengan menyertakan peserta didik ABK ini juga perlu disosialisasikan lebih deras lagi kepada masyarakat. 

“Hal-hal semacam ini juga penting diedukasi ke masyarakat bahwa sebenarnya kita berdampingan saja hidupnya, kita bisa saling membantu. Ternyata dengan kehadiran ABK di sekolah kami, juga membantu anak-anak reguler untuk belajar yang namanya empati dengan praktek langsung, gimana sih cara mereka berinteraksi dengan teman-temannya yang berkebutuhan khusus,” harapnya.

Menyambung itu, Kiki juga menegaskan bahwa sesuai amanat undang-undang, semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama. 

“Begitu juga untuk anak yang special needs, anak yang disabilitas, atau ABK, mereka berhak untuk sekolah di sekolah mana saja. Sebagian masyarakat juga berpikir, ketika dia memiliki ABK, berpikiran bahwa mereka sekolah di SLB (sekolah luar biasa). Padahal, alternatif juga bisa di sekolah inklusi, terutama untuk anak yang tidak memiliki masalah intelektual yang berat,” pungkas Kiki mengingatkan.(rel/mk) 
Share:
Komentar


Berita Terkini