Diskriminasi Sang Jenderal

Editor: metrokampung.com

Catatan : Pardi Simalango
RAUT wajah Antonius Ginting spontan memerah, kepalanya mengangguk-angguk, tatkala Abetnego Panca Putra Tarigan merespon pernyataan bernuansa diskriminatif dari sang jenderal polisi bintang satu berstatus purnawirawan itu.

Gestur tubuh dan air mukanya seolah menyiratkan tantangan kepada Abetnego selaku eks Deputi II Kantor Staf Presiden. Status eks Brigadir Jenderal Polisi barangkali melatari Antonius untuk berusaha menunjukkan kemampuan bersaing ketat dengan Abetnego pada debat perdana Pilkada Karo belum lama ini.

Dengan penuh percaya diri dan jumawa memenangi kontestasi Pilkada Karo, Antonius secara lantang "menjual" nama Presiden RI Prabowo Subianto sebagai pimpinan tertinggi di pemerintahan nasional yang dapat memudahkan pihaknya menggiring anggaran dari pusat untuk dikucurkan ke Kabupaten Karo.
Berdalih segaris dengan pemerintahan nasional - dimana ia dan Komando Tarigan diusung Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto - Antonius berusaha meyakinkan masyarakat memilih paslon nomor urut 2 di Pilkada Karo, tanpa menghiraukan pernyataannya yang bernuansa diskriminasi.

Pernyataan ini sontak mendapat kecaman dari para pendukung dua paslon pada debat perdana Pilkada Karo 2024 yang dihelat KPU di Hotel Emerald Garden Medan, Kamis 24 Oktober 2024. Abetnego Tarigan selaku kandidat calon bupati Karo bernomor urut 1 sontak menyoroti pernyataan Antonius.

Pada closing statement-nya, Abetnego menyebut pernyataan itu merupakan sebuah ancaman. Ia juga menilai pernyataan itu sangat berbahaya dan penting untuk diluruskan. Ia lantas mempertanyakan: apakah pemerintahan nasional akan melakukan diskriminasi apabila pihaknya menang di Pilkada Karo mendatang?

Secara tegas, Abetnego menyampaikan bahwa semasa kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo - dimana ia ikut membantu tugas presiden selama 9 tahun - pemerintahan nasional kala itu tidak pernah mendiskriminasi pihak mana pun.

Nah, secara personal, saya yang mengikuti berjalannya debat yang disiarkan televisi nasional itu, lantas merepresentasikan pernyataan Antonius: ambisius; numpang celup; dan diskriminatif. Ini cara instan yang menghalalkan segala cara untuk meyakinkan masyarakat melalui teori pembodohan.

Antonius mungkin belum paham bahwa masyarakat kini sudah semakin pintar di tengah gempuran era digitalisasi. Ia masih menggunakan taktik-taktik konvensional dan kuno. Padahal, masyarakat awan pun kini sudah banyak belajar soal tata kelola pemerintahan. Dimana, masyarakat saat ini sudah mudah mengakses informasi dari berbagai platform digital.

Kisah Anggota Dewan "Si Tapus"
Aku teringat waktu pemilihan DPRD Karo. Kalau nggak salah tahun 2009 silam. Seorang calon anggota dewan dari salah satu parpol - sebut saja namanya si Tapus - turun ke gang-gang, lorong-lorong di permukiman yang mayoritas ditinggali para pendatang di kampungku.

Waktu itu aku baru setahun lulus SMA. Belakangan aku baru tahu dia adalah mantan pensiunan amtenar asal Pemprovsu.

"Bisa ku bangun jalan ke gang kalian ini. Tinggal ku telepon ke pusat, langsung turun tim dari Jakarta mengukur jalan ini. Seminggu orang itu sudah sampai. Kalau kalian mau, syaratnya cuma satu, pilih aku nanti. Tenang, kalau aku jadi anggota dewan, kalian terus kubantu," ucap si Tapus.

Ucapan si Tapus disambut girang banyak warga waktu itu. Wajar, kondisi akses jalan gang mereka babak belur. Hari pemilihan sudah dekat, tak sampai sebulan lagi. Tim yang dimaksud si Tapus tak kunjung hadir setelah seminggu berlalu. Demikian pun setelah dua minggu berikutnya. Warga pun kecewa.

Ternyata ini hanya akal-akalan si Tapus. Seminggu jelang pemilihan legislatif, ia pun datang menemui warga tadi. Tak kehabisan akal, ia membawa sebuah tas berisi banyak kertas. Ia menyebut kertas itu adalah berkas usulan pembangunan jalan gang warga yang sudah berhasil diusulkan ke pusat.

Ia berdalih, tim pusat baru bisa turun sebulan pasca pemilihan dikarenakan situasi pemilihan legislatif di banyak daerah, sehingga begitu sibuk. Untuk meyakinkan warganya, si Tapus lantas menyodorkan surat perjanjian akan membangun jalan gang itu. Surat itu kemudian ia teken bersama tiga orang perwakilan warga.

Beruntungnya si Tapus. Siasat itu berhasil mengantarkannya menduduki kantor DPRD Karo. Ia menang dengan perolehan suara memuaskan. Warga menanggung kecewa. Akses jalan gang mereka tak kunjung diperbaiki meski satu periode masa jabatannya telah berakhir. Jalan itu baru tersentuh perbaikan oleh Pemkab Karo pada tahun 2021 silam.

Berpotensi Jadi Pemimpin Otoriter
Berkaca dari kisah akal bulus si Tapus, Antonius selayaknya menghindari sikap diskriminasi dan numpang celup ke pemerintahan nasional. Sikap ambisius Antonius sempat menjadi pertanyaan besar dibenakku. Barangkali, Antonius yang sudah terlanjur merogoh kocek besar untuk menggaet enam partai politik sebagai pengusung di Pilkada Karo, menjadi faktor sang jenderal untuk ambisius.

Beban politik yang besar ini, menurutku berpotensi akan mengkotak-kotakan elemen masyarakat di Karo, jika ia memimpin lima tahun kedepan. Ditambah lagi, sikap jumawa Antonius yang terkesan merasa enteng mengendalikan pemerintahan karena yakin akan mendapat akses mudah dari pemerintahan nasional.

Secara pribadi, aku menilai Antonius telah mendeskripsikan sosok Presiden RI Prabowo Subianto sebagai pemimpin yang diskriminasi. Atau lebih tepatnya, akan lebih memprioritaskan usulan atau pun aspirasi dari kepala daerah yang segaris dengan Partai Gerindra dibanding kepala daerah yang diusung parpol lain.

Kepemimpinan yang diskriminasi tentu layak diidentikkan dengan kepemimpinan yang otoriter. Rakyat takakan mudah bersuara, selalu dibungkam. Dengan demikian, harapan untuk mewujudkan pembangunan secara merata, sampai kapan pun takakan mungkin dapat dirasakan oleh masyarakat***
Penulis Adalah  Wartawan Salah Satu Media di Sumut
Share:
Komentar


Berita Terkini