Menyemangati Kembali Warisan Leluhur Yang Nyaris Punah : “MARI LESTARIKAN HIDUP GOTONG ROYONG"

Editor: metrokampung.com
“Nutu Page” (menumbuk padi) Salah Satu Kegiatan Budaya Gotong Royong di Tengah - Tengah Masyarakat Karo Yang sudah Sangat Langka Ditemui.

Oleh : Iqbal Tuahta Ginting
Ooo...Mari temanku kerina...Gotong Royonglah kita ndahiken dahinta... Dahin mberat.. jadi menahang.......Radu Kita Krina Ndahisa ... Iya ahhh olee ... Iya ahhh olee ...

Sekelumit syair lagu ciptaan alm. Sayuti Abdulah Lubis yang menggelorakan semangat kebersamaan ini sepertinya sudah mulai hilang dari pendengaran kita, kalaupun tidak mau dikatakan hilang dari ingatan  warga masyarakat Karo terlebih-lebih bagi yang bermukim diluar Kabupaten Karo apalagi dikalangan generasi muda yang dikenal dengnan julukan GenZ. Kita Sadar kalau Bangsa kita sesungguhnya adalah bangsa yang mulia, bangsa yang saling menghargai, saling mencintai, memiliki toleransi tinggi, dan memiliki sifat bergotong royong.

Dalam Kehidupan Suku Karo zaman dahulu kala, gotong royong dan sikap saling menghargai sesama manusia merupakan warisan nilai budaya tinggi. Dilihat dari maknanya, gotong royong adalah nilai kultural yang berasal dari bahasa Jawa, yakni pikul atau angkat, atau sesuatu yang harus dipikul dan diangkat bersama. Gotong royong merupakan sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia dan tidak dimiliki bangsa lain di dunia. Dengan mengedepankan sikap gotong royong, akan muncul sikap tolong-menolong kepada sesama.
 
Tolong-menolong digerakkan oleh asas timbal balik (reciprocity). Artinya, siapa yang pernah menolong, tentu dia akan menerima pertolongan balik dari pihak yang pernah ditolongnya maupun dari Tuhan Sang Pencipta Alam.

Nah asas ini dimasyarakat karo sejak dahulu  dikenal dengan Rendi Enta yang artinya memberi terlebih dahulu baru menerima. Di sinilah muncul paham kekeluargaan. Sejak dahulu, dalam kehidupan masyarakat kita, terbina suasana religius, kerukunan, gotong royong, tolong-menolong tanpa pamrih, kekeluargaan, dan solidaritas antarsesama.
 
Walaupun di sisi lain masih ada sebagian warga yang bersifat individualistis, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.Tidak bisa dipungkiri bahwa dikalangan masyarakat perkotaan Tradisi bergotong royong kini mulai memudar, kebanggaan pada karya bangsa sendiri semakin pupus, dan semangat memperjuangkan kepentingan bersama semakin susah didapat.

Bahkan kejujuran semakin langka, sementara egoisme kelompok semakin mewabah, begitu pula penghianatan sesama saudara sebangsa bertambah hebat. Kondisi yang memprihatinkan itu bukan hanya untuk sekedar diratapi dan disesali, karena itu harus berfikir dan berusaha mengubahnya. Untuk itu diperlukan kembali tumbuhnya sikap kepahlawanan dari siapapun untuk mau berusaha keras mengubah situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara agar bisa menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.Keharmonisan budaya dan sikap masyarakat di masa dahulu berbeda dengan kehidupan modern saat ini, ketika budaya, sikap, dan tradisi tersebut terkikis, bahkan hilang dalam kehidupan bangsa kita.

Dari teori sosiologi, perubahan di Indonesia tidak merata, ada yang cepat ada juga yang lambat. sebagai perbandingannya adalah daerah Jawa dan Papua. seperti yang kita ketahui pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan sehingga masyarakatnya sudah mengalami perubahan menuju manusia modern yang segala aktifitasnya ditunjang oleh berbagai teknologi canggih. Sedangkan di Papua merupakan daerah yang penduduknya kebanyakan masih memegang teguh tradisinya dan jarang dijumpai peralatan teknologi disana, terutama didaerah pedalaman.

Terkadang kita menemukan bahwa pijakan kebenaran bukan lagi diukur dari budaya kita tapi barometernya ialah budaya barat. Sekarang mari kita mencoba berlayar di tepian budaya kita, agar tahu bahwa budaya ketimuran luar biasa mengagumkan, misalnya kegiatan Gotong royong, betapa indahnya ketika mereka berjejal-jejal menghampiri suatu tempat untuk melakukan kegiatan, mereka berkomunikasi dengan sangat akrabnya, saling bertukar fikiran, setelah itu mereka bersama-sama makan dengan lahapnya.

Alangkah hinanya dan tidak tahu malu kalau kita menampilkan budaya barat didepan bangsa barat yang semakin memupus jiwa gotong-royong kita, layaknya topeng monyet dijalan-jalan raya yang menjadi bahan tertawaan. Mari kita bertekad untuk memupuk lagi budaya yang telah lama pupus, agar mereka tidak meronta-ronta, alangkah sedapnya jika budaya kita menjadi kaca budaya negara luar seperti syair lagu diatas. Dan sudah saatnya para pengetua adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan terutama tokoh pemudanya untuk memulai dan bergandengan tangan bersama mengembalikan budaya kita yakni Budaya Gotong Royong.

Menyikapi kondisi ini, salah satu tokoh adat dan budaya karo , Malem Ukur Ginting angkat bicara. Memang budaya gotong royong ditengah tengah kehidupan masyarakat karo saat ini sudah sangat memprihatinkan dimana flsafah “Numbangken Gegeh” (Menyumbangkan Tenaga) untuk melakukan pekerjaan berat ditengah masyarakat sudah tidak pernah terdengar lagi. Namun bentuk lain dari artian numbangken gegeh itu masih melekat dan kerap dilakukan yakni dalam hal bantuan sosial berbentuk materi yang disebut “Ngeripe” (Urunan / Patungan) baik dalam melaksanakan satu kegiatan di desa maupun bantuan sosial terhadap kemalangan dan bencana alam.

“ Kalau masalah “Ngeripe” hingga saat ini masih melekat di masyarakat karo yang tinggal dimana saja dan in meupakani salah satu kelebihan yang masih terjaga,”ucap pak Ginting.

Malem Ukur Ginting yang juga salah satu pengurus kelembagaan Adat Budaya Karo “LAKONTA”  menilai kurangnya perhatian dari pengambil kebijakan di Tanah Karo yang nota bene adalah Pemerintah Kabupaten Karo. Menurutnya, pemerintah karo tidak peduli akan pelestarian  terhadap Budaya dan Peradataan Karo. 

“Kenapa saya katakan demikian, karna jelas kita lihat di dunia pendidikan  bahwa muatan lokal yang disebut kearifan lokal sama sekali tidak ada,” keluh Ginting. 

Ditambahkan Ginting, adat budaya merupakan cerminan dari bangsa itu sendiri, “Bagaimana Pemerintah mau bersih kalau adat dan budayanya tidak dijaga dengan baik,” pungkas Malem Ukur.

Tak jauh dengan pendapat tokoh adat dan budaya ini, salah satu kepala desa yang berhasil dihubungi penulis yakni Budi Artha Karo-Karo selaku Kepala Desa Cinta Rakyat (Jumaraja) Kecamatan Merdeka mengatakan, pelaksanaan gotong roryong masih kerap dilaksanakan di desa yang ia pimpin. Namun ia juga masih menyayangkan kurangnya partisipasi warganya terkait kegiatan yang dilaksanakan setiap 2 minggu sekali.

“ Dari sekian banyak warga kita, paling yang ikut hanya sekitar 20 hingga 30 orang saja,” terangnya. 

Padahal kegiatan bersih bersih lingkungan ini demi kesehatan bersama,” terangnya. Budi juga menjelaskan kalau peserta gotroy didesanya yang hanya sekitar 2% dari keseluruhan desa juga diikuti oleh pihak kecamatan dan Bhabinsa serta Bhabinkamtibmas.

“Padahal kegiatan ini jelas untuk memperindah desa dan sekaligus  menghindari warga dari bibit bibit penyakit. Sementara terkait segala sesuatu pengeluaran yang diambil dari anggaran Dana Desa,” ujar Budi mengakhiri.

Tulisan ini disertakan dalam Lomba Tulis Pariwisata Dan Budaya Karo Yang diselenggarakan oleh : Persadan Journalist Tanah Karo (PJTK). Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-69. 

Share:
Komentar


Berita Terkini