Sikapi Polemik HGU PTPN II, Rieke Diah Pitaloka dan Nasril Bahar Siap Terima Sejumlah Aktivis Sumut di Komisi VI DPR RI

Editor: metrokampung.com

Deliserdang, Metrokampung.com
Di tengah arus pembangunan nasional yang menuntut percepatan investasi dan transformasi ekonomi, persoalan agraria justru kian menunjukkan sisi gelapnya. Ketimpangan penguasaan tanah, konflik lahan, dan alih fungsi lahan produktif menjadi isu laten yang belum terselesaikan secara adil. Dalam kerangka ini, polemik HGU PTPN II di Sumatera Utara kembali mencuat sebagai cermin dari persoalan struktural agraria Indonesia yang harus disikapi secara serius, visioner, dan menyeluruh.

Menanggapi polemik tersebut, dua Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka dan Nasril Bahar, menyatakan kesiapannya untuk menerima sejumlah aktivis asal Sumatera Utara yang akan melakukan audiensi (kunjungan red.) di Senayan. Ariswan, aktivis dari Gerakan Rakyat Berantas Korupsi (Gerbrak), mengkonfirmasi bahwa dirinya telah melakukan komunikasi langsung lewat pesan WhatsApp dan telepon WhatsApp dengan keduanya pada Minggu, 6 April 2025.

“Bu Rieke yang disapa akrab Oneng menyatakan siap menerima kunjungan sejumlah aktivis Sumut di Komisi VI DPR RI. Beliau merespons serius persoalan ini,” ungkap Ariswan.
 
Sementara itu, Nasril Bahar menyarankan agar para aktivis juga menyurati dan berkunjung ke pihak PTPN II sebagai bentuk dialog awal. Namun, ia menegaskan kesiapannya untuk menerima perwakilan di Senayan bila kunjungan tersebut dilakukan.

Dalam waktu dekat, Ariswan menyatakan bahwa sejumlah aktivis dari Sumatera Utara akan bertolak ke Jakarta, termasuk dirinya. 

"Dalam waktu dekat kami dengan sejumlah aktivis Sumut akan ke Senayan Jakarta, sebelum berangkat kita akan menggelar diskusi publik dengan menghadirkan sejumlah tokoh untuk menyikapi polemik HGU PTPN II ini", Tutup Ariswan.

Di sisi lain, Saharuddin selaku Koordinator Gerbrak Sumut menyoroti dugaan penyimpangan hukum atas lahan eks HGU PTPN II yang kini dikuasai oleh PT Ciputra Development Tbk. Perusahaan properti besar itu disebut telah membangun ribuan unit rumah toko dan perumahan mewah di atas lahan yang sebelumnya dihuni masyarakat, dengan cara penggusuran paksa.

“Kami menduga kuat bahwa pembangunan ini merupakan bentuk pelanggaran hukum dan bentuk korupsi yang tidak berbeda dengan kasus serupa di kawasan Puncak, Bogor. Komisi VI DPR RI harus turut turun ke Sumut untuk membongkar akar persoalan ini,” tegas Saharuddin.

Polemik HGU PTPN II bukan sekadar sengketa lahan, melainkan representasi dari benturan kepentingan antara rakyat dan korporasi yang diperparah oleh lemahnya pengawasan negara. Saatnya negara hadir, tidak hanya sebagai fasilitator pembangunan, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak rakyat. Komisi VI DPR RI kini dihadapkan pada tanggung jawab sejarah untuk menyuarakan keadilan agraria yang berpihak pada masyarakat. (Bobby Purba)
Share:
Komentar


Berita Terkini